Doa Keluarga
Maria adalah ibu dari dua orang anak. Anak pertamanya perempuan dan
sudah duduk di kelas IV SD. Anak keduanya laki-laki dan masih duduk di
kelas II SD. Malam itu Maria sedang mempersiapkan diri untuk berdoa
malam. Dia meletakan patung Maria Medali Wasiat yang sudah bocel-bocel
kecil dibeberapa tempat, di sebuah meja kecil di sudut ruang. Itulah
satu-satunya meja yang dimilikinya. Dua buah lilin kecil dinyalakan di
kiri kanan patung itu. Maria melihat Yo anaknya yang paling kecil masih
tiduran di lantai. Rumah Maria jika bisa disebut rumah, hanyalah sebuah
kamar berukuran 4 X 5. Ruangan itu sesak dengan lemari pakaian, tempat
peralatan makan dan masak, tempat buku dan meja kecil. Maka tidak ada
tempat tidur. Maria dan kedua anaknya tidur di lantai yang beralaskan
plastik tebal.
“Yo ayo kita doa,” ajak Maria. Yo tidak menjawab. Dia masih
tenggelam dalam khayalannya mengendarai mobil. Di tangannya ada sebuah
mobil plastik usang yang digerak-gerakan. Eli kakak Yo sudah mengambil
sikap doa di depan patung Maria. Maria mengambil mobil mainan dan
dengan paksa mengajak Yo untuk berlutut di depan patung Maria.
“Aku nggak mau berdoa,” kata Yo. Eli memandang jengkel pada Yo.
“Dengan berdoa kamu bisa minta apa saja yang kamu inginkan dan
Bunda Maria akan memberikan apa yang kamu inginkan.” Eli mencoba
menjelaskan pentingnya doa bagi Yo.
“Bunda Maria tidak punya apa-apa.” Jawab Yo. “Lihat aja tanganya
sudah dibuka semuanya. Satu-satunya apel yang dimilikinya juga sudah
jatuh dimakan ular.” Yo menunjuk pada patung Maria Medali Wasiat. Dalam
patung itu memang posisi Maria berdiri dengan tangan terbuka. Sedangkan
kakinya menginjak ular yang sedang memakan sebuah apel.
“Maria memang tidak mempunyai apa-apa Yo,” kata Maria menjelaskan.
“Dia hanya membantu doa kita. Kalau Yo berdoa, maka Maria juga akan
berdoa bersama Yo. Kita berdoa bersama Bunda Maria agar permohonan kita
semakin didengarkan Allah, sebab Allah lah yang mempunyai segala
sesuatu di dunia.” Maria memandang Yo sejenak. “Sekarang ayo kita
berdoa. Nanti Eli yang pertama mengatakan permohonan setelah itu kamu
Yo”
Mereka berdoa 10 Salam Maria dan Bapa Kami. Lalu Eli menyatakan
permohonannya agar dia bisa menjanlankan ulangannya besok dengan
berhasil. Setelah Eli selesai, Yo masih diam saja. Sambil berbisik
Maria mengatakan agar Yo menyatakan permohonannya. Dengan terpaksa Yo
berdoa.
“Bunda Maria, sudah lama bapak tidak pulang. Kalau dia pulang
sering kali mabuk dan marah-marah. Aku dan Mbak Eli sering dipukul. Aku
minta agar bapak tidak lagi suka mabuk dan marah-marah pada ibu, tidak
memukul aku dan Mbak Eli lagi. Aku sayang bapak tapi mengapa bapak
tidak sayang padaku? Amin” tanpa terasa air mata mengalir di pipi
Maria.
Sudah lama suami Maria terkena PHK. Dia sudah berusaha melamar
kerja dimana-mana namun sampai sekarang tidak ada panggilan. Seolah
semua jalan menjadi buntu. Dia juga sudah berusaha mencoba untuk jualan
dan usaha lain, tapi gagal dan terbentur tidak ada modal. Dalam
kefrustasian akan hidup, dia menjadi suka mabuk. Dia menjual apa saja
untuk membeli minuman keras dan mabuk bersama beberapa orang
pengangguran lain. Dia memaksa Maria untuk memberinya uang. Padahal
Maria harus bekerja keras sebagai tukang cuci pakaian beberapa tetangga
dan masih berjualan kue di pasar. Kue itu dia buat sendiri, sehingga
sejak dini hari sampai larut malam Maria bekerja keras. Namun uang
hasil kerja itu sering diminta paksa oleh suaminya untuk membeli
minuman. Jika tidak diberi, maka dia akan marah. Salah satu sasaran
kemarahan adalah dengan memukul atau mencaci maki kedua anaknya. Jika
sudah demikian, maka Maria akan berusaha memberi uang agar suaminya itu
segera pergi dari rumah.
Maria tidak tahan melihat penderitaan anak-anaknya, namun dia tidak
kuasa untuk mengubah hidupnya. Dia tidak tahu harus bagaimana lagi
caranya agar semua ini berubah. Dia sudah bekerja keras dari pagi
sampai dini hari lagi. Tapi penghasilan masih kurang saja. Selain itu
ronrongan suaminya dan sikap kasarnya pada anak-anak membuatnya semakin
tertekan. Maka satu-satunya jalan dia memasrahkan semua beban hidupnya
pada Tuhan. Dia yakin bahwa Tuhan tidak akan membiarkannya sendirian
dalam menghadapi semua penderitaannya ini. Dia ingat kotbah seorang
imam, bahwa Yesus datang pada para murid ketika mereka sedang dalam
badai. Maria membayangkan dirinya dalam badai yang sangat menakutkan.
Dia berharap Tuhan datang untuk menenangkan badai itu. Dia berharap
tangan Tuhan berkarya dalam hidupnya.
Permohonan dari Yo membuat Maria tidak kuasa menahan air matanya.
Dia melihat anak dengan berlinang air mata. Yo yang masih membutuhkan
belai kasih ayahnya, namun sebaliknya dia sering mendapatkan pukulan
dan caci maki. Bukan kesalahan Yo, tapi kesalahan suaminya. Kesalahan
suaminya yang tidak tahan menghadapi kehidupan yang sangat pahit ini.
Yo masih terdiam dengan mata terpejam. Dia berharap Bunda Maria akan
berdoa bersama dengannya. Keadaan sunyi. Semuanya terdiam dalam doanya
masing-masing. Tiba-tiba pintu terbuka, seorang lelaki kumal terdiam di
muka pintu. Pakainnya kotor dan wajahnya kuyu. Mulutnya bau minuman
keras tanda habis minum minuman keras. Dia berdiri sambil berpegangan
tiang pintu. Dia kelihatan mabuk keras. Maria dan kedua anaknya menjadi
takut. Kehadiran suaminya hanya menebarkan rasa takut yang mencekam.
Sejenak mereka hanya saling memandang. Dengan terhuyung lelaki itu
berjalan ke arah Yo yang sudah ketakutan sekali.
Tiba-tiba lelaki itu berteriak keras dan menangis. Dipeluknya Yo
dan Eli sambil menangis keras. Dia tidak peduli suaranya akan didengar
oleh banyak orang. Dia tidak malu akan semuanya itu. Saat itu dia tidak
bisa berkata apa-apa selain menangis. Dia ingin melepaskan beban
kepedihan dalam hatinya. Yo dan Eli juga ikut menangis, meski mereka
tidak tahu persis mengapa menangis. Mereka hanya terbawa oleh ayahnya
saja.
Sebetulnya ayah mereka sudah agak lama di muka pintu. Dia hanya
bersandar di dinding rumah, sebab tidak mampu lagi membawa tubuhnya
masuk rumah akibat mabuk berat. Setengah sadar dia mendengar percakapan
istrinya dengan anak-anaknya. Hatinya menjadi hancur ketika
mendengarkan doa Yo. Hatinya merasa seperti ditusuk pedang yang tajam.
Perih sekali. Dia malu pada dirinya sendiri. Dia sadar bahwa selama ini
dia telah menyepelekan cinta anak-anaknya dan membalas cinta istrinya
dengan kekasaran dan caci maki. Dia telah salah memperlakukan anak dan
istrinya. Doa Yo seperti pedang yang menghancurkan dirinya dan
membuatnya sadar bahwa dia telah meninggalkan dan menyiksa mereka
selama ini.
No comments:
Post a Comment