Friday, October 23, 2009

jatuh cinta

Suatu ketika di masa lalu…


Seorang pemuda jatuh cinta setengah mati pada seorang gadis.

Tidak ada yang salah pada cinta. Tidak ada yang salah pada rasa yang berkembang tanpa diundang itu. Hanya saja, memang status mereka terlalu berbeda.


Si Pemuda miskin adalah anak dari rantau yang tinggal di kos saja, jatuh cinta pada seorang gadis putri orang terkaya di kota tersebut. Sebetulnya Si Gadis pun jatuh cinta pada kesederhanaan Si Pemuda yang amat berbeda dari segala kelimpahan yang selalu berada di sekelilingnya. Namun, cinta mereka dihalangi orang tua Si Gadis. Orang tuanya yang punya kuasa dan uang menghalalkan segala cara untuk memisahkan mereka berdua. Akhirnya, Si Pemuda didatangi oleh ayah Si Gadis. Sang Ayah menghinanya dengan selalu mengungkit kemiskinannya. Dan terus mengatakan bahwa Si Pemuda tak bakal pantas bersanding dengan putri kesayangannya yang bukan saja cantik dan kaya namun berperilaku santun dan bertutur kata halus.


Si Pemuda mundur dengan luka karena tertolak cintanya. Luka itu masih menganga, terbuka, dan terus berdarah dalam dirinya. Dia tak mengizinkannya untuk sembuh. Dia hanya ingin membuktikan bahwa dia sanggup jadi orang kaya. Untuk membuktikan kepada ayah Si Gadis, Si Gadis itu, dirinya sendiri, dan seluruh dunia, dia bekerja keras.

Sangat keras sampai di suatu hari nanti dia berhasil berdiri tegar di atas kedua kakinya sendiri. Dan ia menanti-nantikan tibanya saat itu.


Setelah menikmati suksesnya, bertahun-tahun kemudian…


Si Pemuda tersenyum dan tertawa, ketika menikmati kesuksesannya. Akhirnya, impiannya tercapai juga. Setelah itu, tak lama dia malah menderita sakit keras. Ironis sepertinya? Memang begitulah kenyataannya.


Ketika dia sukses, dia tak mampu mengecapnya secara sempurna karena sakit yang menderanya. Dalam kondisi terbaring di rumah sakit, dia melakukan kilas balik hidupnya. Akhirnya dia sukses juga. Akhirnya dia jadi orang kaya juga. Dan akhirnya keluarga Si Gadis juga tahu bahwa dia berhasil jadi orang kaya. Setelah mereka semua tahu, setelah seluruh dunia tahu, lalu apa hasilnya?


Dia merasa lelah. Lelah fisik dan mental. Lelah, ketika dia sangat terpacu untuk membuktikan dirinya sendiri kepada dunia. To show the world that he is somebody. Seseorang yang harus diperhitungkan dan tidak boleh dianggap remeh. Akhirnya, dia keletihan luar biasa. Dan saat itu pulalah, dia tersadar. Dalam sakitnya, setelah segala pencapaiannya yang luar biasa, dia menerima pengertian yang baru. Hari itu barulah dia tahu, dia tak perlu membuktikan apa pun kepada siapa pun. Karena bila dia berusaha dengan giat, dia betul-betul berjuang keras, suatu saat kesuksesan akan menjadi miliknya. Tanpa perlu dendam yang terus mengucurkan darah dan menguras habis emosinya. Memang diakuinya pula, dendam itu membawa dia berjuang lebih keras dan lebih serius. Namun setelah dia sukses, dia merasa itu semua tak perlu. Dendam lagi-lagi hanyalah membawa kesakitan ekstra. Tambahan kesakitan yang semakin membebaninya semata. Kesakitan memang terkadang diperlukan untuk membangkitkan semangat yang patah agar maju mencapai tujuan. Namun, tidak dengan berkubang dalam duka yang tak kunjung habis. Dengan melulu menatap dan meratapi duka tanpa henti ketika berjalan dalam hidup ini, membawa dirinya lemah-letih-lelah-lunglai. Dan rasa itu membuatnya ambruk.


Berkaca dari cerita Si Pemuda itu tadi…


Mungkinkah kita pernah mengalaminya? Dengan kapasitas yang kurang dari Si Pemuda, lebih, atau sama dengannya?

Kita pernah merasa dihina, terhina, ataupun diremehkan. Lalu, kita bersemangat bangkit kembali untuk menunjukkan kepada dunia. “ Ini, lho! Gue…(baca: Saya).

Sang ego yang tersentil, ingin menunjukkan diri. Sang ego mencari pengakuan. Diri ini perlu dibuktikan bahwa mampu berprestasi dan sukses. Tidak seperti kata orang-orang tentang kita yang terkesan meremehkan.


Sebetulnya, lagi-lagi, terusiknya diri dan terpacu ingin menjadi lebih baik bukanlah sesuatu yang jelek. Yang rasanya agak mengganggu adalah motivasi awal untuk sukses menjadi kabur oleh luka, dendam, dan kemarahan yang tak kunjung selesai.

Apa pun luka masa lalu kita, kita hadapi dengan besar hati dan kita terima. Bahwa, memang dulu kita seperti itu, namun dengan berjalannya waktu plus kerja keras, inilah diri kita di hari ini.

Setelah kita berdamai dengan masa lalu kita, bagian kesakitan yang sangat menusuk tajam relung hati kita itu tadi, membuat kita mampu menatap hari ini dan hari depan dengan senyuman. Senyuman yang tulus dari dasar hati karena sadar bahwa diri kita berarti. Bahwa diri kita dikasihi oleh Tuhan. Diri kita diizinkan mengalami banyak hal yang tidak mengenakkan dan menyakitkan hanya sebagai proses untuk menjadi lebih baik. Terbukti, kita menjadi lebih baik dalam beberapa hal setelah kita mengalami masalah dan kekecewaan. Setidaknya ada sesuatu yang kita pelajari dari kegagalan itu dan kita mencatat pengalaman itu sebagai sebuah proses pembelajaran.


Epilog

Si Pemuda merasa pasti bahwa dia tak perlu membuktikan apa pun kepada siapa pun. Sakit hatinya dia akui, dia bawa ke hadapan Sang Pencipta, yang mampu menyembuhkan segala luka. Tuhan sendiri.

Dan dia mulai merasakan luapan kasih yang tak terhingga. Kasih yang tak bersyarat. Unconditional love. Dia tetap dikasihi, dia tetap dicintai, tanpa perlu membuktikan apa pun. Hanya dengan jadi dirinya sendiri. Seluruh keberadaan dirinya bukanlah suatu kesalahan. Yang bisa dia lakukan hanyalah menerima kasih itu, merasakan segenap kehangatan di tiap sudut relung hatinya, untuk kemudian merasa lebih kuat dalam menjalani hidup.


Kenyataan serta kesadaran bahwa dia dicintai walaupun dia miskin membawa dia kepada rasa terima kasih yang tak kunjung putus. Luapan rasa syukur menyebar dalam sanubarinya… Cinta Tuhan memampukannya untuk hidup walaupun pernah sakit hati, walaupun pernah benci, walaupun pernah marah dan kecewa luar biasa. Cinta Tuhan ingin selalu dia bawa dalam hari-harinya di masa yang akan datang. Setiap hari baru adalah hadiah terindah dari-Nya. Dengan segala permasalahannya, dengan segala problematikanya. Hari itu tetap anugerah. Karena kenyataan yang tak dapat dipungkiri telah merasuki hatinya: dia dikasihi, dia dicintai. Apa adanya.


Selamat jalan dendam yang membara! Si Pemuda memutuskan untuk terus hidup dalam kesadaran akan kasih-Nya. Dan kasih itu cukup. Bahkan berlimpah ruah. Walaupun terkadang tidak dirasakannya. Namun kasih itu tak terukur, baik panjang-lebar-ataupun dalamnya.

Dia tersenyum. Pembuktian diri itu sudah selesai. Dia hanya ingin berusaha giat, termotivasi, tanpa menghamburkan energi negatif yang terus menyetirnya selama ini.




Singapura, 21 Oktober 2009

-fon-

* Si Pemuda berharap, kita pun bisa melakukan hal yang sama… Setidaknya berproses menuju ke arah sana…

No comments:

Post a Comment